GURU DAN KETIDAKADILAN YURIDIS
Oleh :
Salafudin Fitri, S.Ag.,M.Pd.

Keadilan selalu didamba oleh setiap mahluk. Sekecil apapun
keadilan itu, selalu menjadi sesuatu yang diimpikan untuk dinikmati. Adil bukan selalu berarti sama. Adil
sesungguhnya adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan
manusia.
Kelayakan
diartikan sebagai titik tengah diantara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak
dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrem itu menyangkut dua orang atau benda (Fajar Sulistiyono, 2011).
Menurut M. Quraish Shihab, keadilan diungkapkan
oleh Al-Quran antara
lain dengan kata-kata al-'adl,
al-qisth, al-mizan, dan dengan
menafikan kezaliman,
walaupun pengertian keadilan
tidak selalu menjadi antonim kezaliman. 'Adl, yang berarti "sama", memberi
kesan adanya dua pihak
atau lebih; karena jika hanya
satu pihak, tidak akan terjadi "persamaan".
Aristoteles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana
bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama
secara tidak sama (justice is done when equals are treated equally). (Fajar Sulistiyono, 2011)
Ketika keadilan tidak
bisa dirasakan oleh orang yang memang seharusnya menikmati keadilan itu,
munculah rasa ingin memberontak. Memprotes terhadap perlakuan yang memperlihatkan
adanya ketimpangan.
Guru adalah orang yang selalu mengajarkan tentang keadilan.
Keadilan yang diajarkan guru kepada murid-muridnya bukan hanya sekedar keadilan
dari sudut teori, tetapi guru juga mengajarkan keadilan dari sudut
praktik. Guru mencontokan arti sebuah
keadilan dalam kehidupan. Sehingga guru akan berusaha memperlakukan murid
secara objektif, dalam kedudukannya sebagai orang yang merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, dan melaksanakan tugas
tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja
guru (PP.74 pasal 52).
Antara kenyataan
dengan yang diharapkan tidak selalu sejalan. Adakalanya apa yang selalu
diharapkan justeru berbeda dengan kenyataan yang harus dihadapi. Itulah
“nasib” kata orang kebanyakan. Tapi
apakah nasib itu bisa diubah. Jawabnya tentu saja bisa.
Guru Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) harus menerima
kenyataan, ketika dia ditugaskan sebagai wakil kepala SD/MI
tidak dihargai sebagai Jam Tatap Muka (JTM). Berbeda dengan saudaranya yang
bertugas di SMP/MTs dan SMA/SMK/MA yang
dihargai setara 12 (dua belas) JTM berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2008 tentang guru.
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, pada pasal 50 disebutkan, setiap satuan pendidikan
dipimpin oleh seorang kepada satuan sebagai penanggung jawab pengelolaan
pendidikan. Selanjutnya dalam pasal yang sama ayat (2) disebutkan: Dalam melaksanakan tugasnya kepala satuan
pendidikan SMP/MTs/SMPLB, atau bentuk lain yang sederajat dibantu minimal oleh
satu orang wakil kepala satuan pendidikan.
Telah jelas bahwa di tingkat SD/MI tidak ada guru yang dapat
ditugaskan sebagai wakil kepala satuan.
Kalau pun ada yang kita lihat di berbagai sekolah tingkat SD/MI, ada
guru yang ditugaskan sebagai wakil kepala, hanyalah sebagai pelengkap struktur
yang sama sekali tidak bisa dihargai setara 12 (dua belas) JTM. Mereka yang
menjabat sebagai wakil memang harus mengajar sejumlah minimal 24 (dua puluh
empat) JTM.
Peraturan
Pemerintah nomor 74 tahun 2008, dalam
pasal 54 ayat (2) disebutkan bahwa: Beban
kerja wakil kepala satuan pendidikan yang memperoleh tunjangan profesi dan
maslahat tambahan adalah paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam 1
(satu) minggu atau membimbing 80 (delapan puluh) peserta didik bagi wakil
kepala satuan pendidikan yang berasal dari Guru bimbingan dan konseling atau
konselor. Hal yang sama dalam Peraturan
Menteri Pendidikan nomor 39 tahun 2009 pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa: “Beban mengajar
guru yang diberi tugas tambahan sebagai wakil kepala satuan pendidikan adalah
paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam satu minggu atau membimbing
80 (delapan puluh) peserta didik bagi wakil kepala satuan pendidikan yang
berasal dari guru bimbingan dan konseling/konselor. Jadi telah jelas bahwa guru
yang ditugaskan sebagai wakil kepala satuan akan dihargai sama dengan 12 (dua
belas) JTM, tetapi hanya untuk jenjang pendidikan SMP/MTs, SMA/SMK/MA bukan untuk SD/MI.
Keluhan yang dikemukakan guru SD/MI ketika dia mendapat tugas
tambahan sebagai wakil kepala, tetapi
tidak ada penghargaan setara JTM, tentu
menjadi bukti adanya ketidakadilan
secara yuridis. Secara jujur diakui,
bahwa guru SD/MI yang mendapat tugas tambahan sebagai wakil kepala tentu
bekerja seperti yang dilakukan oleh wakil kepala pada jenjang SMP/MTs. dan SMA/SMK/MA. Apalagi kalau sekolah tempat dia bertugas
memiliki banyak murid dan rombongan belajar. Bisa jadi volume kerja yang dia
lakukan melebihi volume kerja seorang wakil
kepala di tingkat SMP atau MTs.
Berdasarkan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 19 tahun 2007, disebutkan bahwa
tugas wakil kepala sekolah/madrasah adalah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
sebagai pembantu kepala sekolah/madrasah. Selanjutnya ada juga wakil kepala
bidang kurikulum tugas dan tanggung jawabnya sebagai pembantu kepala sekolah/madrasah
dalam mengelola bidang kurikulum. Bidang sarana prasarana melaksanakan tugas
dan tanggung jawabnya sebagai pembantu kepala sekolah/madrasah dalam mengelola
sarana prasarana. Bidang kesiswaan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
sebagai pembantu kepala sekolah /madrasah dalam mengelola peserta didik.
Kebijakan yang harus dilakukan saat ini, mengingat realitas tingkat satuan pendidikan
setara SD/MI kepala satuan perlu dibantu oleh wakil kepala, maka sudah seharusnya
ada aturan yang merevisi pasal 50 PP. 19
tahun 2005. Sebaiknya dicantumkan kalimat yang
menyatakan bahwa setiap kepala
satuan pendidikan dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu oleh wakil kepala
satuan pendidikan. Ini berarti memungkinkan sekolah-sekolah setingkat SD/MI
menetapkan wakil kepala untuk membantu tugas kepala, begitu pula tentunya dengan RA maupun TK.
Sehingga selanjutnya tugas tambahan tersebut akan dapat dihargai setara 12 (dua belas) JTM.
Sekolah atau satuan pendidikan setara SD/MI yang akan menempatkan
guru sebagai wakil kepala, tentu harus memiliki kriteria khusus, misalnya
memiliki jumlah murid yang sangat banyak sehingga rombongan belajar dan guru
juga perlu banyak. Keadaan seperti ini
memungkin kepala sekolah dibantu oleh seorang wakil. Jadi dengan kriteria tersebut, tidak bisa semua SD/MI dapat mengangkat wakil
kepala.
Merevisi Peraturan Pemerintah
bukanlah hal mudah. Perlu pengkajian yang mendalam. Apalagi peraturan
Pemerintah ditandatangai oleh Presiden. Tetapi
karena semua itu untuk kepentingan kemajuan pendidikan, dan
tuntutan realitas menghendaki adanya perubahan struktur pada jenjang
SD/MI, maka bukan lah hal yang mustahil kalau nanti pada satu saat di dalam peraturan
pemerintah yang baru ada pasal yang memberi peluang ditempatkannya posisi guru
dalam jabatan wakil kepala SD/MI yang
dapat diperhitungkan setara 12 (dua
belas) JTM.
Keuntungan yang didapat dari penugasan
guru dalam jabatan wakil kepala SD/MI tidak hanya menguntungkan bagi para guru
yang selama ini ingin selalu cukup 24 (dua puluh empat) JTM, tetapi kinerja
sekolah akan lebih meningkat sesuai
dengan tuntutan zaman. Selain itu, keadilan yang didamba oleh guru SD/MI
bukan lagi sekedar harapan, tetapi menjadi kenyataan yang sudah berada di
hadapan.
Semoga pihak pengambil keputusan dapat merealisasikan
rasa keadilan tersebut dalam waktu yang
tidak terlalu lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar