Rabu, 30 Juli 2014

GURU DAN KETIDAKADILAN YURIDIS

GURU DAN KETIDAKADILAN YURIDIS
Oleh :  Salafudin Fitri, S.Ag.,M.Pd.
Keadilan selalu didamba oleh setiap mahluk. Sekecil apapun keadilan itu, selalu menjadi sesuatu yang diimpikan untuk dinikmati.  Adil bukan selalu berarti sama. Adil sesungguhnya adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia.
Kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrem itu menyangkut dua orang atau benda (Fajar Sulistiyono, 2011).
Menurut M. Quraish Shihab, keadilan   diungkapkan   oleh   Al-Quran  antara  lain  dengan kata-kata al-'adl, al-qisth, al-mizan,  dan  dengan  menafikan kezaliman,  walaupun  pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonim kezaliman. 'Adl, yang berarti  "sama",  memberi  kesan adanya  dua  pihak  atau  lebih; karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi "persamaan".
Aristoteles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama (justice is done when equals are treated equally). (Fajar Sulistiyono, 2011)
Ketika keadilan  tidak bisa dirasakan oleh orang yang memang seharusnya menikmati keadilan itu, munculah rasa ingin memberontak. Memprotes terhadap perlakuan yang memperlihatkan adanya ketimpangan.
Guru adalah orang yang selalu mengajarkan tentang keadilan. Keadilan yang diajarkan guru kepada murid-muridnya bukan hanya sekedar keadilan dari sudut teori, tetapi guru juga mengajarkan keadilan dari sudut praktik.  Guru mencontokan arti sebuah keadilan dalam kehidupan. Sehingga guru akan berusaha memperlakukan murid secara objektif, dalam kedudukannya sebagai orang  yang merencanakan pembelajaran,   melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, dan melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja guru (PP.74 pasal 52).  
Antara kenyataan  dengan yang diharapkan tidak selalu sejalan. Adakalanya apa yang selalu diharapkan justeru berbeda dengan kenyataan yang harus dihadapi. Itulah “nasib”  kata orang kebanyakan. Tapi apakah nasib itu bisa diubah. Jawabnya tentu saja bisa.   
Guru Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) harus menerima kenyataan,  ketika  dia ditugaskan sebagai wakil kepala SD/MI tidak dihargai sebagai Jam Tatap Muka (JTM). Berbeda dengan saudaranya yang bertugas di SMP/MTs dan SMA/SMK/MA  yang dihargai setara 12 (dua belas) JTM berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor  74 tahun 2008 tentang guru.
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pada pasal 50 disebutkan, setiap satuan pendidikan dipimpin oleh seorang kepada satuan sebagai penanggung jawab pengelolaan pendidikan. Selanjutnya dalam pasal yang sama ayat (2) disebutkan:   Dalam melaksanakan tugasnya kepala satuan pendidikan SMP/MTs/SMPLB, atau bentuk lain yang sederajat dibantu minimal oleh satu orang wakil kepala satuan pendidikan.
Telah jelas bahwa di tingkat SD/MI tidak ada guru yang dapat ditugaskan sebagai wakil kepala satuan.  Kalau pun ada yang kita lihat di berbagai sekolah tingkat SD/MI, ada guru yang ditugaskan sebagai wakil kepala, hanyalah sebagai pelengkap struktur yang sama sekali tidak bisa dihargai setara 12 (dua belas) JTM. Mereka yang menjabat sebagai wakil memang harus mengajar sejumlah minimal 24 (dua puluh empat) JTM.
Peraturan Pemerintah  nomor 74 tahun 2008, dalam pasal 54 ayat (2)  disebutkan bahwa: Beban kerja wakil kepala satuan pendidikan yang memperoleh tunjangan profesi dan maslahat tambahan adalah paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu atau membimbing 80 (delapan puluh) peserta didik bagi wakil kepala satuan pendidikan yang berasal dari Guru bimbingan dan konseling atau konselor.  Hal yang sama dalam Peraturan Menteri Pendidikan nomor 39 tahun 2009 pasal 1  ayat (3) disebutkan bahwa: “Beban mengajar guru yang diberi tugas tambahan sebagai wakil kepala satuan pendidikan adalah paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam satu minggu atau membimbing 80 (delapan puluh) peserta didik bagi wakil kepala satuan pendidikan yang berasal dari guru bimbingan dan konseling/konselor. Jadi telah jelas bahwa guru yang ditugaskan sebagai wakil kepala satuan akan dihargai sama dengan 12 (dua belas) JTM,  tetapi hanya untuk  jenjang pendidikan  SMP/MTs, SMA/SMK/MA  bukan untuk SD/MI.
Keluhan yang dikemukakan guru SD/MI ketika dia mendapat tugas tambahan sebagai wakil kepala,  tetapi tidak ada penghargaan setara JTM,  tentu menjadi  bukti adanya ketidakadilan secara yuridis.  Secara jujur diakui, bahwa guru SD/MI yang mendapat tugas tambahan sebagai wakil kepala tentu bekerja seperti yang dilakukan oleh wakil kepala pada jenjang SMP/MTs. dan SMA/SMK/MA.  Apalagi kalau sekolah tempat dia bertugas memiliki banyak murid dan rombongan belajar. Bisa jadi volume kerja yang dia lakukan melebihi volume  kerja seorang wakil kepala di tingkat SMP atau MTs.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 19 tahun 2007, disebutkan bahwa tugas wakil kepala sekolah/madrasah adalah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pembantu kepala sekolah/madrasah. Selanjutnya ada juga wakil kepala bidang kurikulum tugas dan tanggung jawabnya sebagai pembantu kepala sekolah/madrasah dalam mengelola bidang kurikulum. Bidang sarana prasarana melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pembantu kepala sekolah/madrasah dalam mengelola sarana prasarana. Bidang kesiswaan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pembantu kepala sekolah /madrasah dalam mengelola peserta didik.
Kebijakan yang harus dilakukan saat ini,  mengingat realitas tingkat satuan pendidikan setara SD/MI kepala satuan perlu dibantu oleh wakil kepala, maka sudah seharusnya ada aturan  yang merevisi pasal 50 PP. 19 tahun 2005. Sebaiknya dicantumkan kalimat yang  menyatakan bahwa setiap kepala satuan pendidikan dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu oleh wakil kepala satuan pendidikan.  Ini berarti  memungkinkan sekolah-sekolah setingkat SD/MI menetapkan wakil kepala untuk membantu tugas kepala,  begitu pula tentunya dengan RA maupun TK. Sehingga selanjutnya tugas tambahan tersebut akan dapat dihargai  setara 12 (dua belas) JTM.
Sekolah atau satuan pendidikan setara SD/MI yang akan menempatkan guru sebagai wakil kepala, tentu harus memiliki kriteria khusus, misalnya memiliki jumlah murid yang sangat banyak sehingga rombongan belajar dan guru juga perlu banyak.  Keadaan seperti ini memungkin kepala sekolah dibantu oleh seorang wakil.  Jadi dengan kriteria tersebut,  tidak bisa semua SD/MI dapat mengangkat wakil kepala.
Merevisi Peraturan Pemerintah bukanlah hal mudah. Perlu pengkajian yang mendalam. Apalagi peraturan Pemerintah ditandatangai oleh Presiden. Tetapi  karena semua itu untuk kepentingan kemajuan pendidikan,  dan  tuntutan realitas menghendaki adanya perubahan struktur pada jenjang SD/MI,  maka bukan lah hal  yang mustahil kalau  nanti pada satu saat di dalam peraturan pemerintah yang baru ada pasal yang memberi peluang ditempatkannya posisi guru dalam jabatan wakil kepala SD/MI  yang dapat diperhitungkan  setara 12 (dua belas) JTM. 
Keuntungan yang didapat dari penugasan guru dalam jabatan wakil kepala SD/MI tidak hanya menguntungkan bagi para guru yang selama ini ingin selalu cukup 24 (dua puluh empat) JTM,  tetapi kinerja  sekolah akan lebih  meningkat  sesuai  dengan tuntutan zaman. Selain itu, keadilan yang didamba oleh guru SD/MI bukan lagi sekedar harapan, tetapi menjadi kenyataan yang sudah berada di hadapan.
Semoga pihak pengambil keputusan dapat merealisasikan rasa keadilan tersebut  dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar