Kamis, 31 Juli 2014

KERAGAMAN SEBUAH KEKAYAAN

( Catatan Perjalanan di Negeri Tetangga)
Oleh : Salafudin Fitri, S.Ag.,M.Pd.

Lain lubuk, lain ikannya. Lain padang, lain belalang. Lain negara, lain pula sekolahnya. Itulah gambaran perbedaan antar satu daerah atau negara yang memiliki keragaman dengan ciri khas masing-masing.
Sekolah sebagai lembaga yang mendidik anak-anak bangsa, ternyata di negeri tetangga terdekat kita Malaysia banyak menyimpan keragaman yang menarik untuk dicermati. Ada yang layak untuk ditiru tetapi ada juga yang memang hanya sebagai bahan bandingan dengan yang ada di Indonesia.
Pertama, di tingkat sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah, anak-anak di sana belajar sampai sore. Jadi hampir tidak ada anak-anak usia sekolah yang keluyuran sore hari. Pada sore hari, ketika kita melihat mereka masih berpakaian seragam tentu tujuan mereka adalah sama yaitu pulang ke rumah masing-masing karena memang sudah seharian meninggalkan rumah.
Kedua, ternyata di Malaysia anak usia enam tahun belum bisa diterima di Sekolah Dasar. Syarat usia untuk bisa diterima adalah tujuh tahun pada bulan Januari. Bulan Januari adalah bulan pertama masuk sekolah dan menjadi awal tahun pelajaran seperti yang pernah terjadi di negara kita pada tahun 70-an. Jadi rata-rata tahun kelahiran anak dalam satu kelas sama.
Ketiga, dari sisi kurikulum terutama dalam pelajaran matematika dan sains, baik di tingkat dasar maupun menengah di Malaysia menggunakan literatur bahasa Inggris dan bahasa pengantar juga bahasa Inggris. Keadaan ini telah lama berlangsung, tetapi di tahun 2013 lalu pemerintah Malaysia memberikan alternatif dengan menyediakan buku teks berbahasa Melayu untuk warga negara yang belum mampu menguasai bahasa Inggris.
Pelajaran Agama, terutama pelajaran Pendidikan Agama Islam ternyata memiliki muatan yang sangat banyak dan mendalam. Setelah selesai belajar di sekolah umum, pada siang hari anak-anak pergi lagi ke sekolah yang khusus mengajarkan materi Pendidikan Agama Islam. Program ini wajib untuk semua. Inilah yang membuat mereka pulang setiap hari pada sore hari menjelang magrib.
Belajar Pendidikan Agama Islam, buku teks yang digunakan ternyata menggunakan teks dengan tulisan huruf Arab tetapi berbahasa Melayu. Di Indonesia teks tersebut dikenal dengan teks Arab Melayu. Di Malaysia orang menyebutnya tulisan Jawi.
Buku pelajaran agama yang biasa beredar di Indonesia ternyata juga beredar di Malaysia tetapi tentunya dicetak dengan teks ejaan Melayu. Buku belajar membaca Al Qur’an dengan metode Iqra yang disusun oleh KH. As’ad Humam dari Jogjakarta, ternyata anak-anak di Malaysia telah menggunakan buku tersebut. Di toko-toko buku sangat mudah mendapatkannya. Di toko buku Pasar Raya Rezeki Zam-Zam yang terletak di Komplek Pertokoaan Hentian Kajang, Selangor, harga 1 buku untuk 6 jilid yang dicetak Indonesia dijual dengan harga RM 5,5 atau setara Rp.16.500. Sedangkan yang dicetak di Malaysia dan dikonversi ke teks Arab Melayu dijual dengan harga RM 12 atau setara Rp. 36.000.
Keempat, dari sisi kelembagaan sekolah setingkat Sekolah Dasar dinamakan Sekolah Rendah dengan lama belajar 6 tahun. Sedangkan di tingkat menengah pertama dan menengah atas menjadi satu lembaga yaitu Sekolah Menengah yang lama belajarnya lima tahun. Jadi tidak ada SMP dan SMA seperti di negara kita, yang ada hanya satu yaitu Sekolah Menengah.
Tidak ada anak yang tidak naik kelas, semua anak akan naik kelas. Hanya saja masing-masing anak dikelompokan dalam klasifikasi yang berbeda. Di tingkat Sekolah Rendah ada kelas Usaha sebagai kumpulan anak yang masih belum mampu meraih prestasi baik. Sedangkan anak yang berhasil meraih nilai baik akan digabungkan dalam kelas atau kelompok Cemerlang.
Tingkatan atau kelas yang menunjukan lama belajar anak di sekolah yang biasa kita sebut kelas satu, kelas dua sampai kelas enam di jenjang Sekolah Dasar penyebutannya adalah Darjah. Ada Darjah satu, Darjah Dua dan seterusnya sampai Darjah enam.
Setiap sekolah yang berlabel Kebangsaan adalah Sekolah yang dikelola sepenuhnya oleh Pemerintah atau sekolah negeri seperti negara Indonesia. Sedangkan sekolah yang dikelola oleh pihak swasta diberi nama sekolah awam. Baik sekolah Kebangsaan maupun sekolah Awam keduanya sama-sama berpacu untuk selalu meningkatkan kualitas dengan berbagai cara dan strategi.
Ujian Nasional yang saat ini di Indonesia tidak lagi dilaksanakan untuk tingkat SD/MI, di Malaysia ternyata telah lama berlangsung dan tidak pernah ada gugatan untuk dihapus. Ujian Nasional dilaksanakan mulai tingkat dasar sampai tingkat menengah. Dilaksanakan secara jujur. Tidak ada upaya dari guru ketika muridnya sedang ujian guru member kunci jawabannya. Murid bekerja masing-masing. Sehingga hasil ujian adalah gambaran kemampuan masing-masing murid, bukan gambaran keterampilan guru member jawaban kepada murid.
Di tingkat Perguruan tinggi setara S1 (Strata 1) tidak ada gelar untuk para alumninya. Gelar hanya diberikan untuk tingkat S2 (Strata 2) dan S3 (Strata 3). Untuk S2 diberi gelar Master dan S3 akan diberi gelar PhD atau Doktor.
Mahasiswa Perguruan Tinggi di Malaysia yang asli pribumi atau bangsa Melayu diberi kemudahan oleh pihak pemerintah atau pihak kerajaan dengan adanya bantuan dana. Mereka diberi pinjaman dana. Kemudian setelah selesai menamatkan pendidikan di Perguran Tinggi dan berhasil mendapatkan pekerjaan baru mengembalikan dana tersebut dengan cara mencicil dari gaji yang diterima setiap bulan.
Warga Indonesia yang ingin menuntut ilmu, telah menaruh harapan pada Perguruan Tinggi yang ada di Malaysia. Ternyata tidak sedikit yang ikut belajar di Malaysia. Berdasarkan catatan dari Inti College Indonesia, ada sekitar 15.000 warga Indonesia yang menuntut ilmu di berbagai perguruan Tinggi di Malaysia, seperti di Universitas Kebangsaan Malaysia. Universitas Utara Malaysia, Universitas Malaya, Universitas Islam Antarabangsa Malaysia dan sejumlah Perguruan Tinggi lainnya. (www.inti.ac.id/Newinti3 tgl. 11-11-2013)
Sebagai negara yang berada dalam satu rumpun Asia Tenggara, Malaysia banyak memiliki kesamaan dengan Indonesia. Ketika penulis menghadiri acara perkawinan anak salah seorang guru di Sekolah Menengah Kebangsan (SMK) Dato Mustaffa di negara bagian Selangor, penulis terkejut karena para murid SMK tersebut mulai dari awal sampai akhir menyajikan hiburan musik gamelan dengan lagu-lagu daerah Indonesia. Dengan penuh penghayatan dan apresiasi yang tinggi, mereka menyuguhkan lagu Ayam Den Lapeh, Bubuy Bulan, Injit-injit Semut dan masih banyak lagi lagu-lagu lain yang semua lagu adalah milik bangsa Indonesia. Komentar singkat yang terlontar dari mulut guru pembimbing ketika itu adalah : “Siapa lagi yang harus menghidupkan kebudayaan kita, kalau tidak para pelajar yang saat ini memang mereka cinta dengan hal-hal yang bernuansa kedaerahan dan keragaman”
Rasa malu sekaligus bercampur haru, karena apa yang telah kita miliki ternyata diakui juga oleh saudara kita di Malaysia. Kita pantas malu karena ketika ada pesta perkawinan sanak saudara kita, sangat jarang menampilkan lagu-lagu seperti yang ditampilkan anak-anak pelajar di Malaysia. Kita sukanya lagu-lagu yang bernada menggoyang, tak peduli kadang kala lagu itu bersumber dari negara Barat.
Jadi apapun yang menjadi keragaman di Malaysia, ternyata menjadi sesuatu yang sebenarnya menyadarkan kita. Mereka maju dari segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi, tetapi ternyata mereka masih merindukan nuansa-nuansa kebudayaan daerah yang menjadi warisan leluhur bersama. Itulah mungkin yang menjadi bukti bahwa kita memang satu rumpun, satu jalinan keturuan, satu kebudayaan tetapi berbeda negara dan sistem pemerintahan.
Semoga tulisan ini menggugah kita untuk tidak mempersoalkan perbedaan. Tetapi menginspirasi untuk selalu memahami keragaman. Serta bersyukur bahwa keragaman adalah kekayaan, bukan sumber untuk dipertentangkan.

KERAGAMAN SEBUAH KEKAYAAN

( Catatan Perjalanan di Negeri Tetangga)
Oleh : Salafudin Fitri, S.Ag.,M.Pd.

Lain lubuk, lain ikannya. Lain padang, lain belalang. Lain negara, lain pula sekolahnya. Itulah gambaran perbedaan antar satu daerah atau negara yang memiliki keragaman dengan ciri khas masing-masing.
Sekolah sebagai lembaga yang mendidik anak-anak bangsa, ternyata di negeri tetangga terdekat kita Malaysia banyak menyimpan keragaman yang menarik untuk dicermati. Ada yang layak untuk ditiru tetapi ada juga yang memang hanya sebagai bahan bandingan dengan yang ada di Indonesia.
Pertama, di tingkat sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah, anak-anak di sana belajar sampai sore. Jadi hampir tidak ada anak-anak usia sekolah yang keluyuran sore hari. Pada sore hari, ketika kita melihat mereka masih berpakaian seragam tentu tujuan mereka adalah sama yaitu pulang ke rumah masing-masing karena memang sudah seharian meninggalkan rumah.
Kedua, ternyata di Malaysia anak usia enam tahun belum bisa diterima di Sekolah Dasar. Syarat usia untuk bisa diterima adalah tujuh tahun pada bulan Januari. Bulan Januari adalah bulan pertama masuk sekolah dan menjadi awal tahun pelajaran seperti yang pernah terjadi di negara kita pada tahun 70-an. Jadi rata-rata tahun kelahiran anak dalam satu kelas sama.
Ketiga, dari sisi kurikulum terutama dalam pelajaran matematika dan sains, baik di tingkat dasar maupun menengah di Malaysia menggunakan literatur bahasa Inggris dan bahasa pengantar juga bahasa Inggris. Keadaan ini telah lama berlangsung, tetapi di tahun 2013 lalu pemerintah Malaysia memberikan alternatif dengan menyediakan buku teks berbahasa Melayu untuk warga negara yang belum mampu menguasai bahasa Inggris.
Pelajaran Agama, terutama pelajaran Pendidikan Agama Islam ternyata memiliki muatan yang sangat banyak dan mendalam. Setelah selesai belajar di sekolah umum, pada siang hari anak-anak pergi lagi ke sekolah yang khusus mengajarkan materi Pendidikan Agama Islam. Program ini wajib untuk semua. Inilah yang membuat mereka pulang setiap hari pada sore hari menjelang magrib.
Belajar Pendidikan Agama Islam, buku teks yang digunakan ternyata menggunakan teks dengan tulisan huruf Arab tetapi berbahasa Melayu. Di Indonesia teks tersebut dikenal dengan teks Arab Melayu. Di Malaysia orang menyebutnya tulisan Jawi.
Buku pelajaran agama yang biasa beredar di Indonesia ternyata juga beredar di Malaysia tetapi tentunya dicetak dengan teks ejaan Melayu. Buku belajar membaca Al Qur’an dengan metode Iqra yang disusun oleh KH. As’ad Humam dari Jogjakarta, ternyata anak-anak di Malaysia telah menggunakan buku tersebut. Di toko-toko buku sangat mudah mendapatkannya. Di toko buku Pasar Raya Rezeki Zam-Zam yang terletak di Komplek Pertokoaan Hentian Kajang, Selangor, harga 1 buku untuk 6 jilid yang dicetak Indonesia dijual dengan harga RM 5,5 atau setara Rp.16.500. Sedangkan yang dicetak di Malaysia dan dikonversi ke teks Arab Melayu dijual dengan harga RM 12 atau setara Rp. 36.000.
Keempat, dari sisi kelembagaan sekolah setingkat Sekolah Dasar dinamakan Sekolah Rendah dengan lama belajar 6 tahun. Sedangkan di tingkat menengah pertama dan menengah atas menjadi satu lembaga yaitu Sekolah Menengah yang lama belajarnya lima tahun. Jadi tidak ada SMP dan SMA seperti di negara kita, yang ada hanya satu yaitu Sekolah Menengah.
Tidak ada anak yang tidak naik kelas, semua anak akan naik kelas. Hanya saja masing-masing anak dikelompokan dalam klasifikasi yang berbeda. Di tingkat Sekolah Rendah ada kelas Usaha sebagai kumpulan anak yang masih belum mampu meraih prestasi baik. Sedangkan anak yang berhasil meraih nilai baik akan digabungkan dalam kelas atau kelompok Cemerlang.
Tingkatan atau kelas yang menunjukan lama belajar anak di sekolah yang biasa kita sebut kelas satu, kelas dua sampai kelas enam di jenjang Sekolah Dasar penyebutannya adalah Darjah. Ada Darjah satu, Darjah Dua dan seterusnya sampai Darjah enam.
Setiap sekolah yang berlabel Kebangsaan adalah Sekolah yang dikelola sepenuhnya oleh Pemerintah atau sekolah negeri seperti negara Indonesia. Sedangkan sekolah yang dikelola oleh pihak swasta diberi nama sekolah awam. Baik sekolah Kebangsaan maupun sekolah Awam keduanya sama-sama berpacu untuk selalu meningkatkan kualitas dengan berbagai cara dan strategi.
Ujian Nasional yang saat ini di Indonesia tidak lagi dilaksanakan untuk tingkat SD/MI, di Malaysia ternyata telah lama berlangsung dan tidak pernah ada gugatan untuk dihapus. Ujian Nasional dilaksanakan mulai tingkat dasar sampai tingkat menengah. Dilaksanakan secara jujur. Tidak ada upaya dari guru ketika muridnya sedang ujian guru member kunci jawabannya. Murid bekerja masing-masing. Sehingga hasil ujian adalah gambaran kemampuan masing-masing murid, bukan gambaran keterampilan guru member jawaban kepada murid.
Di tingkat Perguruan tinggi setara S1 (Strata 1) tidak ada gelar untuk para alumninya. Gelar hanya diberikan untuk tingkat S2 (Strata 2) dan S3 (Strata 3). Untuk S2 diberi gelar Master dan S3 akan diberi gelar PhD atau Doktor.
Mahasiswa Perguruan Tinggi di Malaysia yang asli pribumi atau bangsa Melayu diberi kemudahan oleh pihak pemerintah atau pihak kerajaan dengan adanya bantuan dana. Mereka diberi pinjaman dana. Kemudian setelah selesai menamatkan pendidikan di Perguran Tinggi dan berhasil mendapatkan pekerjaan baru mengembalikan dana tersebut dengan cara mencicil dari gaji yang diterima setiap bulan.
Warga Indonesia yang ingin menuntut ilmu, telah menaruh harapan pada Perguruan Tinggi yang ada di Malaysia. Ternyata tidak sedikit yang ikut belajar di Malaysia. Berdasarkan catatan dari Inti College Indonesia, ada sekitar 15.000 warga Indonesia yang menuntut ilmu di berbagai perguruan Tinggi di Malaysia, seperti di Universitas Kebangsaan Malaysia. Universitas Utara Malaysia, Universitas Malaya, Universitas Islam Antarabangsa Malaysia dan sejumlah Perguruan Tinggi lainnya. (www.inti.ac.id/Newinti3 tgl. 11-11-2013)
Sebagai negara yang berada dalam satu rumpun Asia Tenggara, Malaysia banyak memiliki kesamaan dengan Indonesia. Ketika penulis menghadiri acara perkawinan anak salah seorang guru di Sekolah Menengah Kebangsan (SMK) Dato Mustaffa di negara bagian Selangor, penulis terkejut karena para murid SMK tersebut mulai dari awal sampai akhir menyajikan hiburan musik gamelan dengan lagu-lagu daerah Indonesia. Dengan penuh penghayatan dan apresiasi yang tinggi, mereka menyuguhkan lagu Ayam Den Lapeh, Bubuy Bulan, Injit-injit Semut dan masih banyak lagi lagu-lagu lain yang semua lagu adalah milik bangsa Indonesia. Komentar singkat yang terlontar dari mulut guru pembimbing ketika itu adalah : “Siapa lagi yang harus menghidupkan kebudayaan kita, kalau tidak para pelajar yang saat ini memang mereka cinta dengan hal-hal yang bernuansa kedaerahan dan keragaman”
Rasa malu sekaligus bercampur haru, karena apa yang telah kita miliki ternyata diakui juga oleh saudara kita di Malaysia. Kita pantas malu karena ketika ada pesta perkawinan sanak saudara kita, sangat jarang menampilkan lagu-lagu seperti yang ditampilkan anak-anak pelajar di Malaysia. Kita sukanya lagu-lagu yang bernada menggoyang, tak peduli kadang kala lagu itu bersumber dari negara Barat.
Jadi apapun yang menjadi keragaman di Malaysia, ternyata menjadi sesuatu yang sebenarnya menyadarkan kita. Mereka maju dari segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi, tetapi ternyata mereka masih merindukan nuansa-nuansa kebudayaan daerah yang menjadi warisan leluhur bersama. Itulah mungkin yang menjadi bukti bahwa kita memang satu rumpun, satu jalinan keturuan, satu kebudayaan tetapi berbeda negara dan sistem pemerintahan.
Semoga tulisan ini menggugah kita untuk tidak mempersoalkan perbedaan. Tetapi menginspirasi untuk selalu memahami keragaman. Serta bersyukur bahwa keragaman adalah kekayaan, bukan sumber untuk dipertentangkan.

Rabu, 30 Juli 2014

GURU DAN KETIDAKADILAN YURIDIS

GURU DAN KETIDAKADILAN YURIDIS
Oleh :  Salafudin Fitri, S.Ag.,M.Pd.
Keadilan selalu didamba oleh setiap mahluk. Sekecil apapun keadilan itu, selalu menjadi sesuatu yang diimpikan untuk dinikmati.  Adil bukan selalu berarti sama. Adil sesungguhnya adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia.
Kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrem itu menyangkut dua orang atau benda (Fajar Sulistiyono, 2011).
Menurut M. Quraish Shihab, keadilan   diungkapkan   oleh   Al-Quran  antara  lain  dengan kata-kata al-'adl, al-qisth, al-mizan,  dan  dengan  menafikan kezaliman,  walaupun  pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonim kezaliman. 'Adl, yang berarti  "sama",  memberi  kesan adanya  dua  pihak  atau  lebih; karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi "persamaan".
Aristoteles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama (justice is done when equals are treated equally). (Fajar Sulistiyono, 2011)
Ketika keadilan  tidak bisa dirasakan oleh orang yang memang seharusnya menikmati keadilan itu, munculah rasa ingin memberontak. Memprotes terhadap perlakuan yang memperlihatkan adanya ketimpangan.
Guru adalah orang yang selalu mengajarkan tentang keadilan. Keadilan yang diajarkan guru kepada murid-muridnya bukan hanya sekedar keadilan dari sudut teori, tetapi guru juga mengajarkan keadilan dari sudut praktik.  Guru mencontokan arti sebuah keadilan dalam kehidupan. Sehingga guru akan berusaha memperlakukan murid secara objektif, dalam kedudukannya sebagai orang  yang merencanakan pembelajaran,   melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, dan melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja guru (PP.74 pasal 52).  
Antara kenyataan  dengan yang diharapkan tidak selalu sejalan. Adakalanya apa yang selalu diharapkan justeru berbeda dengan kenyataan yang harus dihadapi. Itulah “nasib”  kata orang kebanyakan. Tapi apakah nasib itu bisa diubah. Jawabnya tentu saja bisa.   
Guru Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) harus menerima kenyataan,  ketika  dia ditugaskan sebagai wakil kepala SD/MI tidak dihargai sebagai Jam Tatap Muka (JTM). Berbeda dengan saudaranya yang bertugas di SMP/MTs dan SMA/SMK/MA  yang dihargai setara 12 (dua belas) JTM berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor  74 tahun 2008 tentang guru.
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pada pasal 50 disebutkan, setiap satuan pendidikan dipimpin oleh seorang kepada satuan sebagai penanggung jawab pengelolaan pendidikan. Selanjutnya dalam pasal yang sama ayat (2) disebutkan:   Dalam melaksanakan tugasnya kepala satuan pendidikan SMP/MTs/SMPLB, atau bentuk lain yang sederajat dibantu minimal oleh satu orang wakil kepala satuan pendidikan.
Telah jelas bahwa di tingkat SD/MI tidak ada guru yang dapat ditugaskan sebagai wakil kepala satuan.  Kalau pun ada yang kita lihat di berbagai sekolah tingkat SD/MI, ada guru yang ditugaskan sebagai wakil kepala, hanyalah sebagai pelengkap struktur yang sama sekali tidak bisa dihargai setara 12 (dua belas) JTM. Mereka yang menjabat sebagai wakil memang harus mengajar sejumlah minimal 24 (dua puluh empat) JTM.
Peraturan Pemerintah  nomor 74 tahun 2008, dalam pasal 54 ayat (2)  disebutkan bahwa: Beban kerja wakil kepala satuan pendidikan yang memperoleh tunjangan profesi dan maslahat tambahan adalah paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu atau membimbing 80 (delapan puluh) peserta didik bagi wakil kepala satuan pendidikan yang berasal dari Guru bimbingan dan konseling atau konselor.  Hal yang sama dalam Peraturan Menteri Pendidikan nomor 39 tahun 2009 pasal 1  ayat (3) disebutkan bahwa: “Beban mengajar guru yang diberi tugas tambahan sebagai wakil kepala satuan pendidikan adalah paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam satu minggu atau membimbing 80 (delapan puluh) peserta didik bagi wakil kepala satuan pendidikan yang berasal dari guru bimbingan dan konseling/konselor. Jadi telah jelas bahwa guru yang ditugaskan sebagai wakil kepala satuan akan dihargai sama dengan 12 (dua belas) JTM,  tetapi hanya untuk  jenjang pendidikan  SMP/MTs, SMA/SMK/MA  bukan untuk SD/MI.
Keluhan yang dikemukakan guru SD/MI ketika dia mendapat tugas tambahan sebagai wakil kepala,  tetapi tidak ada penghargaan setara JTM,  tentu menjadi  bukti adanya ketidakadilan secara yuridis.  Secara jujur diakui, bahwa guru SD/MI yang mendapat tugas tambahan sebagai wakil kepala tentu bekerja seperti yang dilakukan oleh wakil kepala pada jenjang SMP/MTs. dan SMA/SMK/MA.  Apalagi kalau sekolah tempat dia bertugas memiliki banyak murid dan rombongan belajar. Bisa jadi volume kerja yang dia lakukan melebihi volume  kerja seorang wakil kepala di tingkat SMP atau MTs.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 19 tahun 2007, disebutkan bahwa tugas wakil kepala sekolah/madrasah adalah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pembantu kepala sekolah/madrasah. Selanjutnya ada juga wakil kepala bidang kurikulum tugas dan tanggung jawabnya sebagai pembantu kepala sekolah/madrasah dalam mengelola bidang kurikulum. Bidang sarana prasarana melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pembantu kepala sekolah/madrasah dalam mengelola sarana prasarana. Bidang kesiswaan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pembantu kepala sekolah /madrasah dalam mengelola peserta didik.
Kebijakan yang harus dilakukan saat ini,  mengingat realitas tingkat satuan pendidikan setara SD/MI kepala satuan perlu dibantu oleh wakil kepala, maka sudah seharusnya ada aturan  yang merevisi pasal 50 PP. 19 tahun 2005. Sebaiknya dicantumkan kalimat yang  menyatakan bahwa setiap kepala satuan pendidikan dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu oleh wakil kepala satuan pendidikan.  Ini berarti  memungkinkan sekolah-sekolah setingkat SD/MI menetapkan wakil kepala untuk membantu tugas kepala,  begitu pula tentunya dengan RA maupun TK. Sehingga selanjutnya tugas tambahan tersebut akan dapat dihargai  setara 12 (dua belas) JTM.
Sekolah atau satuan pendidikan setara SD/MI yang akan menempatkan guru sebagai wakil kepala, tentu harus memiliki kriteria khusus, misalnya memiliki jumlah murid yang sangat banyak sehingga rombongan belajar dan guru juga perlu banyak.  Keadaan seperti ini memungkin kepala sekolah dibantu oleh seorang wakil.  Jadi dengan kriteria tersebut,  tidak bisa semua SD/MI dapat mengangkat wakil kepala.
Merevisi Peraturan Pemerintah bukanlah hal mudah. Perlu pengkajian yang mendalam. Apalagi peraturan Pemerintah ditandatangai oleh Presiden. Tetapi  karena semua itu untuk kepentingan kemajuan pendidikan,  dan  tuntutan realitas menghendaki adanya perubahan struktur pada jenjang SD/MI,  maka bukan lah hal  yang mustahil kalau  nanti pada satu saat di dalam peraturan pemerintah yang baru ada pasal yang memberi peluang ditempatkannya posisi guru dalam jabatan wakil kepala SD/MI  yang dapat diperhitungkan  setara 12 (dua belas) JTM. 
Keuntungan yang didapat dari penugasan guru dalam jabatan wakil kepala SD/MI tidak hanya menguntungkan bagi para guru yang selama ini ingin selalu cukup 24 (dua puluh empat) JTM,  tetapi kinerja  sekolah akan lebih  meningkat  sesuai  dengan tuntutan zaman. Selain itu, keadilan yang didamba oleh guru SD/MI bukan lagi sekedar harapan, tetapi menjadi kenyataan yang sudah berada di hadapan.
Semoga pihak pengambil keputusan dapat merealisasikan rasa keadilan tersebut  dalam waktu yang tidak terlalu lama.